Shadow Word generated at Pimp-My-Profile.com

Selasa, 28 September 2010

Peluncuran dan bedah buku Sejarah Gereja Katolik di Lembah Balim.



Lorens Resi Purek, OFM :
Peluncuran dan bedah buku Sejarah Gereja Katolik di Lembah Balim.
Wah…wah......itulah  ungkapan khas dari Lembah Balim, tempat buku ini disusun yang saat ini akan dibedah. Kami senang karena semua sudah datang untuk berdiskusi dalam acara ini, peluncuran buku sejarah gereja katolik. Trimakasih atas plihan dan kesediaan menggunakan tempat ini sebagai pembedah buku.

Tutur Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar Timur Abepura P.Dr. Neles Tebay,Pr dalam kegiatan peluncuran dan pembedaan buku Sejarah Gereja katolik di Lembah Baliem Papua karya PATER FRANS LIESHOUT OFM; Rabu 14 April 2010 di Aula St. Yoseph STFT Fajar Timur Abepura Papua. Moderator yang mengawasi jalan kegiatan ilmiah ini adalah Drs.Abdon Bisei M.Hum dengan pembedah I Pater Frans Lieshout OFM dan pembedah II Pater Wilhelmus Gonsalit Saur OFM. Hadir dalam kegiatan ini wakil dari pemerintah Propinsi Papua ketua Majelis Rakyat Papua Drs. Agus Alua, segenap masyarakat Balim yang berada di Kota Jayapura, pengurus OMK dari beberapa paroki di kota Jayapura, suster DSY dan para dosen beserta segenap mahasiswa STFT Fajar Timur.
Menurut P. Dr. Neles Tebay, Pr  Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar Timur  sebagai lembaga pendidikan diharapkan punya banyak kegaitan ilmiah. Saya melihat bahwa apa yang akan kita diskusikan ini sangat bermakana, karena penulisnya adalah pelaku sejarah Punya arti bagi perkembangan Gereja di Lembah Balim. Pater Frans adalah pelaku yang mengukir sejarah itu. Apa yang ditulis tidak terlepas dari pengalamannya sebagai pelaku sejarah. Apa yang dia buat dan lihat itulah yang ditulisnya. Sejarah  Gereja katolik yang disusun itu adalah sejarah misi. Bgaimana Kristus diwartakan di Lembah Balim. Misionaris datang tidak membawah Alllah ke Papua tetapi ditarik oleh Allah yang dihidupi dan dipahami oleh orang Papua.  Bagaimana Allah hadir dan berkarya dalam budaya setempat. Dalam budaya Balim ada nilai unggul sebagaimana ada dalam benih benih Injil. Ini menjadi indicator bahwa di Papua ada juga nilai-nilai unggul. Pastor Frans Lieshout, OFM cukup rendah hati dan adaptasi dengan umat, maka ia menemukan nilai-nilai itu. Hal itu bahwa dalam suku-sua lain juga ada nilai unggul. Ini juga bisa menjadi bahan belajar untuk mashasiswa dan para pastor. Kita ditantang untuk mendengarkan  sambil belajar budaya masyarakat setempat. Dengar apa yang mereka katakan dan apa yang ada di balikya. Ini adalah tantangan bagi kita. Bagi para pastor orang Papua, hal ini menjadi modal dasar bagi anda kalian melihat nilai unggul dalam budaya kita maisng-masing sebagaimana yang dituangkan buku ini. Penting  bagi kita untuk diketahui bersama bahwa dalam setiap budaya Papua ada nialai-nilai unggul. Sejarah Gereja Katolik, maka perspektif misionaris juga masuk. Kalau oleh soerang Balim pasti perspektifnya juga berbeda. Mereka akan bertanya bagaimana reaksi kami? Dengan hal ini menjadi tantangan bagi teman-teman dari Balim untuk bagaimana memberi respon terhadap sejarah perkembangan Gereja di Lembah Balim. Kita punya 2 perpspektif sejarah,menurut siapa? Terima kasih untuk Pastor Frans sudah menulis sebagai ungkapan rasa cinta terhadap umat Balim. Lebih jauh itu menjadi bentuk ungkapan cinta Pater untuk kita semua.




BEDAH BUKU
Diawali dengan pembacaan Curicum Vitae yang dituangkan dalam buku oleh moderator; Drs. Abdon Bisei M.Hum. Menurutnya   baca buku sejarah dapat ditinjau dari dua sisi yaitu;   Pertama titik ideologi, untuk kepentingan siapa buku ini ditulis?
Penerimaan akan apa yang terjadi. Ketika dibaca bisa saja mendatangkan kesenangan dan jengkel, tetapi bagaimana bisa dipikirikan untuk masa depan.
Kedua, ditulis oleh mereka yang menang perang, tetapi kita lupa bahwa butuh budak untuk mengelilingi.
Ketika membaca buku pater Frans, pada halaman 127 diuraikan bahwa satu orang yang melawan pemerintah &an Gereja, dibunuh,  oleh pater ditulis sebagai Pahlawan. Fransiskus berpesan kepada para  pengikutnya bahwa kita pergi untuk temukan Allah dalam pewartaan dan tinggal dengan mereka. Pater Frans Lieshaout,OFM mengawali pembicaraanya dengan mengucapkan terima kasih kepada  Pater Dr. Neles Tebay, Pr, para pembesar yang hadir dan calon-calon pastor  atas waktu dan kesempatan untuk memperkenalkan buku ini. Buku ini cukup tebal dan hurufnya besar. Ada 2 judul: ..” dan simbol. Penulisnya seorang pastor, OFM ungkapan kebanggaan sebagai aggota fransiskan. Menurutnya sumber-sumber yang digunakan untuk menyusun buku ini adalah laporan arsip di keuskupan Jayapura, pengalaman senidri, dokumen para misionaris lainnya dan bantuan banyak pihak. 

 Menurut P. Frans Lieshout,OFM buku ini ditulis pertama-tama  karena banyak orang Balim   yang berkeinginan untuk mengetahui tentang sejarah awal mula perkembangan Gereja di Lembah Balim. Sejarah keselamatan masyarakat itu sangat manusiawi. P.Frans Lieshout,OFM mengharapkan bahwa   suatu ketika akan ada juga putra daerah menulis sejarah yang sama dari perspektif masyarakat. Dan mudahan memperbaiki bahasa sesuai bahasa Indonesia. Tahun 2000, arsip menjadi kurus, tidak ada lagi laporan dari pastor-pastor. Di jaman HP yang beredar begitu laris  tidak ada lagi yang berniat untuk mencatat.
Isi buku sejarah Gereja di Balim: Sejarah dilihat dalam konteksnya, lebih dahulu diuraikan soal berbagai ekspedisi yang dilakukan di Lembah Balim. Ekspedisi dengan  arogan untuk merubah nama gunung, kita beri nama yang sama Puncak Trikora, seakan-akan masyaakat tidak punya nama asli untuk itu. Diuraikan juga mengenai kecelakaan pesawat, dan sejak saat itu terjadi suatu lomba dari pemerintah dan Gereja untuk biar masuk di Lembah agung itu. CAMA (Christian and Missionary Alliance) yang pertama kali masuk. Katolik pada 1958 oleh Patr Arie Blokdijk, OFM yang sebelumnya bertugas di Kerom dan berjalan kaki ke Lembah Balim lewat kampung Molof dan selanjutnya ke Membramo. Namun ia tidak sampai di Lembah Balim karena perahu yang dibeli dari masyarakat untuk perjalanan mereka hanyut terbawa banjir. Akhirnya P. Kammerer, OFM bersama guru Martinus Songgonau, Yonas Mote dan tuju pembantu lainnya berangkat dari Enarotali/Kugapa ke arah timur. Pada tanggal 5 Januari 1954 mereka tiba di sungai Yugume (Balim Timur). Mereka sampai di sini saja dan tidak melanjutkan perjalanannya karena para pengantarnya tidak sanggup lagi untuk jalan serta takut dibunuh oleh orang Dani. Pater Arie Blokdijk,OFM akhirnya berhasil masuk ke Balim dan mendapat sebuh tenda sekutu. Berbeda, biasanya diperlihatkan pastor datang dengan salib, jubah, karena Tuhan mencipatkan manusia, suku-suku dengan bahasanya sendiri-sendri. Orang harus mulai dengar dan lihat. Menurut kepala suku Kurulu (salah satu kepala suku di Balim), Ia mengambil air dan memberi minum kepada misionaris itu sebagai ungkapan bahwa kamu harus minum, kamu harus terima dari kami dulu. Baru kamu omong apa yang kau mau ceritakan perihal pewartaan yang kamu bawa.

Orang Balim, bisa buat kesalahan besar, tetapi mereka bisa mengampuni. Setelah semua itu, dapat dibuka pos misi, diusahakan menjadi shabat seorang kepala suku. Di situ mulailah Gereja dengan kehadirannya mampu untuk belajar bahasa setempat. melihat orang-orang setempat dan mulai membuat pelayanan sederhana; misalya, melalui pengobatan. Dalam perkembangannya satu setengah tahun kemudian, dimulai dengan pendidian formal. Ini menjadi suatu pendekatan khas gereja Katolik di mana-mana. Dengan demikian masyarakt mau maju maka pendidikan formal adalah hal mutlak. Dibukalah kursus pertanian, kursus katekis, dengan sangat sederhana,tuhkan tetapi dengan semangat besar, aka mulailah pewarataan, walaupun waktu itu tidak ada kuliah. Dibutuhkan kreatifitas yang besar. Tahun 1970, mulai berkembang semangat masyarakat untuk  menyadari kehadiran Greja muda itu. Ada kesadaran yang timbul bahwa gereja menjadi milik mereka sendiri. Kita adalah Gereja. Dan ini cocok dengan kepribadian orang Balim yang suka mandiri. Di kelompok pewrata/Pembina Umat, ada 9 paroki setiap paroki mempuna cerita dan kesan awal tersediri. Dibentuklah Badan Musawarah Paroki, sehingga orang yang sudah dibaptis juga bisa menjadi anggora BM. Hal  ini sangat membantun masyaraakt, untuk menyatukan Injil dengan program hari-hari perdausaraan: dialog antara adat dan Injil. Hasil yang dirasakan adalah  semakin berkembangnya gereja hingga sekarang.

Hal yang istimewa aldalah meskipun uskup dulu melarang untuk membuka pos di daerah protestan, tetapi tanpa usaha dari misioanris terjadilah bahwa daerah Ilugua, Gume-Tiom, Kurima, Saminage, dibuka oleh Roh Kudus melalui kepala suku.  Sebagaimana  dengan subj udul yang diuraikan oleh P.Frans Lieshout,OFM; Bilamana benih injil ditaburkan di sembagaran tempat, tanpa menghiraukan budaya Balim, maka sama dengan menarburkan benih di semak berduri. Siapa saja yang bertugas di Balim tidak mungkin mengabaikan budaya masyarakat. Menurutnya kebudayaan adalah kekayaan spiritual. Katolik bertitik tolak dari pandangan bahwa sebelum Injil masuk sudah ada bekas kaki Allah. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Yesus bahwa Ia tidak datang untuk meniadakan nilai budaya melainkan untuk menyempurnakannya.

Ada pengalaman indah yang dikisahkan. Waktu ekspedesi Lorenzt, dengan ratusan orang jalan kaki dari Asmat menuju ke Pegunungangan. Mereka khawatir kalau bertemu dengan orang-orang jahat. Mereka membawa pasukan untuk mengawal perjalanan ini. Setelah mereka tiba dan berhadapan dengan orang pegungugnan. Mereka telanjang, hitam, dan militerpun siaga. Justru apa yang terjadi orang gunung datang dan jabat tangan. Anggota ekspedisi heran karena disalami. Orang primitif justru tidak berhati jahat. Dihidangkan juga daging babi. Kepala ekspedisi diminta untuk membagi, tapi dia cicipi dulu. Akhirnya, ditegur karena harus membagi kepada teman serombongan. Setelah tinggal beberapa lama bersama masyarakat setempat, mereka menemukan bahwa orang pegunungan punya teknologi pertanian. Mereka lebih heran lagi. Karl Muhler juga menuturkan bahwa dulu orang Papua boleh merasa berbangga, karena sudah ada pertanian di sana. Ada rasa kagum yang mendalam. Rasa kagum itu, terus dipupuk. Dunia luar banyak belajar dari pegunungan ini. Rugi kalau hilang Program gereja dan pemerintah, kurang memperhitungkan kearifan budaya lokal ini.

Ada kesenjangan yang nampak yaitu sekarang perhatian gereja keuskupan lebih difokuskan pada OMK, padahal  orang tua juga dirasa penting.  Karena seakan-akaan pohon yang dipotong dari akar. Ada konflik yang nampak antara gereja Katolik dan Jayawijaya. Tahun 1970 pemerintah menginstruksikan untuk melepaskan budaya dan dilepaskan oleh masyarakat. Gereja Katolik protes akan hal demikian, sehingga pemerintah provinsi juga melibatkan diri.
P.Frans Lieshout,OFM mengangkat contoh yang menonjol adalah tantangan poligami. Menurutnya setelah 50 tahun penginjilan poligami tidak berkurang berarti. 30% bapak keluarga  Balim poligami, ibu -ibu 50% hidup dalam poligami. Perintah Yesus untuk membaptis, kecuali yang 40% poigami. Sekarang ini 25%  yang sudah dibaptis poligami lagi. Berdasarkan aturan Gereja mereka tidak boleh dibaptis dan komuni lagi. Timbul pertanyaan apakah ada perintah Yesus yang melarang orang-orang yang poligami untuk tidak dibaptis?

Tahun-tahun terakhir, ada gejala yang sangat berpengaruh yatiu, sekarang tidak ada pastor awam lagi. Jadi pelayanan pastoral hanya dijalankan oleh seorang imam. Akibatnya ada 9 paroki di dekenat Jawawijaya, 6 paroki tidak mempunyai  pastor. Pelayanan juga hanya difokuskan pada sakramental, sekarang hampir separoh umat katolik yang belum dibaptis, tidak mendapat pelayanan lagi. Orang Muda Katolik  dirangkul dan orang tua dianaktirikan. Defakto inkulturasi: studi budaya dan bahasa hampir tidak  lagi dihidupi. Ini tidak terjadi lagi.

Pastor GONZA:
Kesan pertama pater frans sangat mengesankan. Bahasa sebagai jalan memahami pikiran masyarakat setempat. Waktu membaca buku ini saya merasa senang, karena bisa membaca dan bisa melihat. melihat teks....Kita tahu sejarah dan  selanjutnya  bisa membuat apa dengan Gereja ke depan. Ini membutuhkan kerja keras dan melahirkan banyak penderitaan karena tidak bisa  harus ditulis.

Kekuatan misioanaris mereka adalah pola pendekatan mereka. Pendekatan inkulturatif sangat menentukan pelayanan. Bahasa adalah tantangan dan tuntutan yang harus dipenuhi dan dikuasai. Pembaptisan baru dilakukan setelah 4-5 tahun. Mereka bina dulu baru baptis.
P.Frans Liesthout memberi judl buku tersebut: SEJARAH GEREJA KATOLIK DI LEMBAH BALIM- PAPUA: KEBUDAYAAN BALIM TANAH SUBUR BAGI BENIH INJIL.
Judul ini seakan memberi arti penting bagi kita supaya tetap menghargai dan menggali kebudayaan Balim itu bagi benih Injil. Ada banyak pedoman hidup baik dan jatih diri orang Balim yang perlu digali. Judul itu juga mengungkapkan kegelisahan ketika tenaga pastoral kurang menghayati inkulturasi sebagai kewajiban  dalam penginjilan. Tenaga-tenaga pastoral yang ada di Lembah Balim amat kurang (9 paroki hanya dilayani oleh 3 imam dan 1 suster).



 Lorens Resi Purek, OFM
 Biara Sang Surya
 Jln. Sosiri no 7 Abepura
 Jayapura- Papua
 Telp: 0967 581844

Tidak ada komentar:

Posting Komentar