Shadow Word generated at Pimp-My-Profile.com

Kamis, 30 September 2010

Pembinaan Kaum Muda Katolik di Persimpangan Jalan

Tidak bisa dipungkiri bahwa berkembang tidaknya suatu bangsa tergantung pada kaum muda. Dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia, kaum muda mempunyai posisi yang penting sebagai pembawa perubahan. Setiap ada kemandegan, yang berujung pada penderiataan rakyat, kaum muda siap mendobraknya. Dengan demikian, tidak disangsikan lagi peran kaum muda sebagai “agent of change”.
Situasi demikian juga terjadi dalam lingkup gereja Katolik. Kaum muda merupakan pembawa perubahan kehidupan menggereja. Kehadiran mereka bukan hanya sebagai ‘bolo dupakan’ dengan aktifitas seputar tempat parkir. Tetapi mereka diharapkan, dan sudah seharusnya lebih berperan lagi sebagai penggerak kehidupan menggereja. Idealisme demikian, kiranya masih jauh dari harapan, ketika melihat sepak terjang orang muda. Tidak jarang saling menyalahkan (dalam diam) antara orang muda dan orang dewasa. Mungkinkah bahwa titik lemahnya di dalam pendampingan kaum muda itu sendiri?

Pengalaman terlibat dalam dinamika bersama kaum muda selama ini. Sepertinya orang muda mempu-nyai dinamika tersendiri, yang berbeda dengan dinamika orang tua. Perbedaan dinamika ini terkadang kurang terjembatani. Sehingga saling silang pengertian mudah terjadi. Satu hal yang mungkin bisa dilakukan adalah duduk bersama, sharing bersama. Berbicara kemauan masing-masing untuk kemudian mencari titik temu atau setidaknya saling mengerti.
Macetnya kegiatan-kegiatan orang muda juga disebabkan oleh kurang atau tidak adanya evaluasi kegiatan. Kalaupun ada evaluasi ya tinggal evaluasi, tanpa ada tindak lanjutnya. Sekedar memenuhi permintaan untuk sahnya laporan pertanggungjawaban. Dana terkadang muncul juga menjadi kendala. Namun benarkah dana merupakan kendala? Persoalan pendanaan seharusnya hanyalah persoalan kecil, ketika ada kreatifitas dalam penggalian dana.
Beberapa tantangan di atas disinyalir merupakan dosa pembinaan kaum muda itu sendiri. Oleh Philips Tangdilintin (2008) diungkapkan adanya lima dosa pembinaan kaum muda.
NATO = no action, talk only”, banyak omong, kaya rumusan, kurang aksi!
Tidak dipungkiri pentingnya peran dan pembinaan kaum muda. Dalam banyak kesempatan pertemuan hal ini selalu menjadi topik dan bahasan yang hangat, yang akhirnya menghasilkan rumusan-rumusan rekomendasi yang sangat baik. Rekomendasi kemudian disosialisasikan dan berhenti sebatas sosialisasi saja. Penjabaran aktualisasi ke dalam kegiatan-kegiatan atau gerakan-gerakan pembaharuan tidak terjadi.
Menganggap orang muda katolik hanya ‘harapan masa depan’.
Orang muda dianggap sebagai the churchmen of tomorrow, warga gereja masa depan. Sehingga dalam setiap kegiatan-kegiatan, orang muda cenderung ditempatkan sebagai pelengkap (penderita), kurang mendapat tempat yang strategis. Hal ini disebabkan ‘katanya’ orang muda kurang pengalaman. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana mungkin punya pengalaman, ketika tidak diberi tanggungjawab atau dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan.
Menganggap pembinaan orang muda katolik sebagai ‘opsional’
Perubahan dan pembaharuan menuju keadaban publik merupakan opsi gereja yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Tanggung jawab dan peran terbesar dalam perubahan dan pembaharuan ada di tangan kaum muda. Untuk itu dibutuhkan generasi muda yang lebih jujur, lebih adil, lebih disiplin, lebih bertanggung jawab, lebih terbuka-inklusif, memiliki daya juang dan iman yang kokoh. Maka pembinaan orang muda katolik haruslah menjadi pilihan esensial dan imperaktif, bukannya opsional.
Bergerak seputar altar, lupa misi sosial.
Ketika pembinaan orang muda katolik sudah berjalan, kegiatannya berlangsung di seputar altar. Kegiatan sosial atau politik kurang mendapatkan porsi. Sehingga tidak heran semakin berkurangnya tokoh-tokoh sosial atau politik dari kalangan muda katolik.
Tanpa konsep, tanpa sistem, tanpa kontinuitas
Pembinaan masih banyak yang ditangani secara parsial, belumlah merupakan suatu sistem yang konsisten dan continuous improvement (peningkatan terus-menerus). Dapat dikatakan ganti pengurus ganti program atau kebijakan.
Untuk menghadirkan ciri kaum muda sebagai agent of change, agen perubahan yang energik, kreatif, solutif, dinamis, empatik, kritis, dan berani mengambil resiko, mau tidak mau harus didukung dengan perubahan paradigma pembinaan, atau pendampingan kaum muda katolik. Paradigma yang seperti apa? Itu menjadi tanggung jawab bersama, tanpa terjebak kembali ke dalam lima dosa pembinaan.

PESAN BAPA SUCI BENEDICTUS XVI UNTUK HARI ORANG MUDA SEDUNIA KE-26, TAHUN 2011 DI MADRID



"Berakar dan dibangun dalam Yesus Kristus, berteguh dalam iman" (bdk. Kol 2:7)

Sahabat muda terkasih,
Saya sering mengingat kembali  Hari Orang Muda Sedunia di Sidney pada tahun 2008 silam. Di sana, kita merayakan  pesta iman, saat  Roh Allah secara giat  bekerja di tengah-tengah kita semua, dan membangun komunitas rohani yang secara sungguh-sungguh dapat saling berbagi dalam satu iman, di antara para peserta yang datang dari berbagai belahan dunia. Pertemuan tersebut, seperti perjumpaan-perjumpaan sebelumnya, berbuah lebat  dalam hidup banyak orang muda dan hidup  Gereja. Sekarang kita menuju Hari Orang Muda Sedunia berikutnya, yang akan terselenggara di Madrid pada bulan Agustus 2011. Mengingat kembali  masa pada tahun 1989, beberapa bulan sebelum hari bersejarah keruntuhan tembok Berlin, peziarahan orang muda seperti ini  pernah  dilakukan di Spanyol pula, waktu itu di Santiago de Compostela. Sekarang,  saat  masyarakat  Eropa sedang dalam kebutuhan besar untuk menemukan kembali akar Kekristenan mereka, pertemuan kita akan mengambil tempat di Madrid, dengan tema : "Berakar dan dibangun dalam Yesus Kristus, berteguh dalam iman" (bdk. Kol 2: 7). Saya menyemangati Anda untuk mengambil bagian dalam peristiwa ini, yang merupakan peristiwa penting bagi Gereja di Eropa dan bagi Gereja sedunia. Saya mengajak kalian  semua orang muda, baik yang saling berbagi iman dalam Yesus Kristus, maupun  kalian yang ragu dalam ketidakpastian, atau kalian  yang tidak percaya akan Dia, untuk berbagi pengalaman ini, yang akan membuktikan kepastian hidup kalian. Inilah pengalaman akan Tuhan Yesus yang bangkit dan hidup, dan pengalaman akan kasihNya bagi kita masing-masing.

Selasa, 28 September 2010

Pertemuan OMK tahun 2010 di Tanah Aplim Apom Kabupaten Pegunungan Bintang










Syaloom, dan Semangat Siang .......
Buat semua sahabat-sahabatku sesama Pejuang .......

Yepmum....(salam khas daerah Pegunungan Bintang)

Saya ingin menyampaikan kegiatan yang akan di buat oleh Komkep Keuskupan Jayapura yaitu Pertemuan OMK tahun 2010 di Tanah Aplim Apom Kabupaten Pegunungan Bintang ......

Kegiatan akan dibuat pada tanggal 25 - 28 Juni 2010 di Oksibil Paroki Roh Kudus Mabilabol, yang akan di ikuti oleh kl. 300 peserta dari 4 dekenat (Jayapura, Jayawijaya, Keroom dan Pegunungan Bintang)

Keadaan Geografis :
Supaya teman-teman dapat merasakan suasana di Pegunungan Bintang tidak ada salahnya kalau saya memberikan sedikit gambaran tentang keadaan geografis tempat kegiatan.

Dekenat Pegunungan Bintang merupakan bagian dari Keuskupan Jayapura terletak di ketinggian 7000 kaki dpl, secara umum wilayah ini berada diantara beberapa gunung tinggi, dengan suhu antara 13-25 derajat celcius. Cuaca di tempat ini tidak menentu dan tidak mengenal musim karena cuaca dapat berubah sesuka hati setiap menitnya....(kadang panas....di menit kemudian bisa hujan deras atau gerimis)
untuk sampai di tempat ini setiap peserta dari Jayapura harus rela menyiapkan dana transportasi pesawat sebesar Rp. 2.400.000 PP (sudah diskon dari penerbangan Misi Katolik AMA)

Pesawat yang akan mengangkut Peserta dari Jayapura dan Keroom adalah jenis Grand Caravan dan Pilatus yang hanya dapat mengangkut 15 dan 8 orang sekali jalan...... (Mohon doanya semoga seluruh peserta dan Team dapat tiba dengan selamat di tempat tujuan)


Kegiatan - kegiatan antara lain :
Pembukaan Oleh Bapak Bupati Peg. Bintang, Katakese Pribadi, Pengajaran dan Diskusi, Adorasi dan Rekonsiliasi, Bakti Sosial Pengobatan Massal, Workshop IT, Outbound, dan Puncak Kegiatan adalah Jalan Salib ke Gunung Botak

Pemateri :
Dalam kegiatan ini yang terlibat dalam memberikan Materi al. RD Y.Dwiharsanto, PR, RD. John Bunay, PR, RD. Yulianus Mote, PR, RD. Hilarius Pekey, PR, RD. Andreas Trismadi, PR dan Mgr. Leo Laba Ladjar, Ofm, Florry Koban dan Saya sendiri....( heheheh mau ngisi apa ya....)

Teman-teman panitia Lokal telah siap untuk menerima kedatangan teman-teman dari dekenat lain.......

sekali lagi mohon dukungan Doa untuk kegiatan ini......

Salam Hangat sehangat Mentari Pagi dari Ufuk Timur Negeri Tercinta

Peluncuran dan bedah buku Sejarah Gereja Katolik di Lembah Balim.



Lorens Resi Purek, OFM :
Peluncuran dan bedah buku Sejarah Gereja Katolik di Lembah Balim.
Wah…wah......itulah  ungkapan khas dari Lembah Balim, tempat buku ini disusun yang saat ini akan dibedah. Kami senang karena semua sudah datang untuk berdiskusi dalam acara ini, peluncuran buku sejarah gereja katolik. Trimakasih atas plihan dan kesediaan menggunakan tempat ini sebagai pembedah buku.

Tutur Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar Timur Abepura P.Dr. Neles Tebay,Pr dalam kegiatan peluncuran dan pembedaan buku Sejarah Gereja katolik di Lembah Baliem Papua karya PATER FRANS LIESHOUT OFM; Rabu 14 April 2010 di Aula St. Yoseph STFT Fajar Timur Abepura Papua. Moderator yang mengawasi jalan kegiatan ilmiah ini adalah Drs.Abdon Bisei M.Hum dengan pembedah I Pater Frans Lieshout OFM dan pembedah II Pater Wilhelmus Gonsalit Saur OFM. Hadir dalam kegiatan ini wakil dari pemerintah Propinsi Papua ketua Majelis Rakyat Papua Drs. Agus Alua, segenap masyarakat Balim yang berada di Kota Jayapura, pengurus OMK dari beberapa paroki di kota Jayapura, suster DSY dan para dosen beserta segenap mahasiswa STFT Fajar Timur.
Menurut P. Dr. Neles Tebay, Pr  Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar Timur  sebagai lembaga pendidikan diharapkan punya banyak kegaitan ilmiah. Saya melihat bahwa apa yang akan kita diskusikan ini sangat bermakana, karena penulisnya adalah pelaku sejarah Punya arti bagi perkembangan Gereja di Lembah Balim. Pater Frans adalah pelaku yang mengukir sejarah itu. Apa yang ditulis tidak terlepas dari pengalamannya sebagai pelaku sejarah. Apa yang dia buat dan lihat itulah yang ditulisnya. Sejarah  Gereja katolik yang disusun itu adalah sejarah misi. Bgaimana Kristus diwartakan di Lembah Balim. Misionaris datang tidak membawah Alllah ke Papua tetapi ditarik oleh Allah yang dihidupi dan dipahami oleh orang Papua.  Bagaimana Allah hadir dan berkarya dalam budaya setempat. Dalam budaya Balim ada nilai unggul sebagaimana ada dalam benih benih Injil. Ini menjadi indicator bahwa di Papua ada juga nilai-nilai unggul. Pastor Frans Lieshout, OFM cukup rendah hati dan adaptasi dengan umat, maka ia menemukan nilai-nilai itu. Hal itu bahwa dalam suku-sua lain juga ada nilai unggul. Ini juga bisa menjadi bahan belajar untuk mashasiswa dan para pastor. Kita ditantang untuk mendengarkan  sambil belajar budaya masyarakat setempat. Dengar apa yang mereka katakan dan apa yang ada di balikya. Ini adalah tantangan bagi kita. Bagi para pastor orang Papua, hal ini menjadi modal dasar bagi anda kalian melihat nilai unggul dalam budaya kita maisng-masing sebagaimana yang dituangkan buku ini. Penting  bagi kita untuk diketahui bersama bahwa dalam setiap budaya Papua ada nialai-nilai unggul. Sejarah Gereja Katolik, maka perspektif misionaris juga masuk. Kalau oleh soerang Balim pasti perspektifnya juga berbeda. Mereka akan bertanya bagaimana reaksi kami? Dengan hal ini menjadi tantangan bagi teman-teman dari Balim untuk bagaimana memberi respon terhadap sejarah perkembangan Gereja di Lembah Balim. Kita punya 2 perpspektif sejarah,menurut siapa? Terima kasih untuk Pastor Frans sudah menulis sebagai ungkapan rasa cinta terhadap umat Balim. Lebih jauh itu menjadi bentuk ungkapan cinta Pater untuk kita semua.




BEDAH BUKU
Diawali dengan pembacaan Curicum Vitae yang dituangkan dalam buku oleh moderator; Drs. Abdon Bisei M.Hum. Menurutnya   baca buku sejarah dapat ditinjau dari dua sisi yaitu;   Pertama titik ideologi, untuk kepentingan siapa buku ini ditulis?
Penerimaan akan apa yang terjadi. Ketika dibaca bisa saja mendatangkan kesenangan dan jengkel, tetapi bagaimana bisa dipikirikan untuk masa depan.
Kedua, ditulis oleh mereka yang menang perang, tetapi kita lupa bahwa butuh budak untuk mengelilingi.
Ketika membaca buku pater Frans, pada halaman 127 diuraikan bahwa satu orang yang melawan pemerintah &an Gereja, dibunuh,  oleh pater ditulis sebagai Pahlawan. Fransiskus berpesan kepada para  pengikutnya bahwa kita pergi untuk temukan Allah dalam pewartaan dan tinggal dengan mereka. Pater Frans Lieshaout,OFM mengawali pembicaraanya dengan mengucapkan terima kasih kepada  Pater Dr. Neles Tebay, Pr, para pembesar yang hadir dan calon-calon pastor  atas waktu dan kesempatan untuk memperkenalkan buku ini. Buku ini cukup tebal dan hurufnya besar. Ada 2 judul: ..” dan simbol. Penulisnya seorang pastor, OFM ungkapan kebanggaan sebagai aggota fransiskan. Menurutnya sumber-sumber yang digunakan untuk menyusun buku ini adalah laporan arsip di keuskupan Jayapura, pengalaman senidri, dokumen para misionaris lainnya dan bantuan banyak pihak. 

 Menurut P. Frans Lieshout,OFM buku ini ditulis pertama-tama  karena banyak orang Balim   yang berkeinginan untuk mengetahui tentang sejarah awal mula perkembangan Gereja di Lembah Balim. Sejarah keselamatan masyarakat itu sangat manusiawi. P.Frans Lieshout,OFM mengharapkan bahwa   suatu ketika akan ada juga putra daerah menulis sejarah yang sama dari perspektif masyarakat. Dan mudahan memperbaiki bahasa sesuai bahasa Indonesia. Tahun 2000, arsip menjadi kurus, tidak ada lagi laporan dari pastor-pastor. Di jaman HP yang beredar begitu laris  tidak ada lagi yang berniat untuk mencatat.
Isi buku sejarah Gereja di Balim: Sejarah dilihat dalam konteksnya, lebih dahulu diuraikan soal berbagai ekspedisi yang dilakukan di Lembah Balim. Ekspedisi dengan  arogan untuk merubah nama gunung, kita beri nama yang sama Puncak Trikora, seakan-akan masyaakat tidak punya nama asli untuk itu. Diuraikan juga mengenai kecelakaan pesawat, dan sejak saat itu terjadi suatu lomba dari pemerintah dan Gereja untuk biar masuk di Lembah agung itu. CAMA (Christian and Missionary Alliance) yang pertama kali masuk. Katolik pada 1958 oleh Patr Arie Blokdijk, OFM yang sebelumnya bertugas di Kerom dan berjalan kaki ke Lembah Balim lewat kampung Molof dan selanjutnya ke Membramo. Namun ia tidak sampai di Lembah Balim karena perahu yang dibeli dari masyarakat untuk perjalanan mereka hanyut terbawa banjir. Akhirnya P. Kammerer, OFM bersama guru Martinus Songgonau, Yonas Mote dan tuju pembantu lainnya berangkat dari Enarotali/Kugapa ke arah timur. Pada tanggal 5 Januari 1954 mereka tiba di sungai Yugume (Balim Timur). Mereka sampai di sini saja dan tidak melanjutkan perjalanannya karena para pengantarnya tidak sanggup lagi untuk jalan serta takut dibunuh oleh orang Dani. Pater Arie Blokdijk,OFM akhirnya berhasil masuk ke Balim dan mendapat sebuh tenda sekutu. Berbeda, biasanya diperlihatkan pastor datang dengan salib, jubah, karena Tuhan mencipatkan manusia, suku-suku dengan bahasanya sendiri-sendri. Orang harus mulai dengar dan lihat. Menurut kepala suku Kurulu (salah satu kepala suku di Balim), Ia mengambil air dan memberi minum kepada misionaris itu sebagai ungkapan bahwa kamu harus minum, kamu harus terima dari kami dulu. Baru kamu omong apa yang kau mau ceritakan perihal pewartaan yang kamu bawa.

Orang Balim, bisa buat kesalahan besar, tetapi mereka bisa mengampuni. Setelah semua itu, dapat dibuka pos misi, diusahakan menjadi shabat seorang kepala suku. Di situ mulailah Gereja dengan kehadirannya mampu untuk belajar bahasa setempat. melihat orang-orang setempat dan mulai membuat pelayanan sederhana; misalya, melalui pengobatan. Dalam perkembangannya satu setengah tahun kemudian, dimulai dengan pendidian formal. Ini menjadi suatu pendekatan khas gereja Katolik di mana-mana. Dengan demikian masyarakt mau maju maka pendidikan formal adalah hal mutlak. Dibukalah kursus pertanian, kursus katekis, dengan sangat sederhana,tuhkan tetapi dengan semangat besar, aka mulailah pewarataan, walaupun waktu itu tidak ada kuliah. Dibutuhkan kreatifitas yang besar. Tahun 1970, mulai berkembang semangat masyarakat untuk  menyadari kehadiran Greja muda itu. Ada kesadaran yang timbul bahwa gereja menjadi milik mereka sendiri. Kita adalah Gereja. Dan ini cocok dengan kepribadian orang Balim yang suka mandiri. Di kelompok pewrata/Pembina Umat, ada 9 paroki setiap paroki mempuna cerita dan kesan awal tersediri. Dibentuklah Badan Musawarah Paroki, sehingga orang yang sudah dibaptis juga bisa menjadi anggora BM. Hal  ini sangat membantun masyaraakt, untuk menyatukan Injil dengan program hari-hari perdausaraan: dialog antara adat dan Injil. Hasil yang dirasakan adalah  semakin berkembangnya gereja hingga sekarang.

Hal yang istimewa aldalah meskipun uskup dulu melarang untuk membuka pos di daerah protestan, tetapi tanpa usaha dari misioanris terjadilah bahwa daerah Ilugua, Gume-Tiom, Kurima, Saminage, dibuka oleh Roh Kudus melalui kepala suku.  Sebagaimana  dengan subj udul yang diuraikan oleh P.Frans Lieshout,OFM; Bilamana benih injil ditaburkan di sembagaran tempat, tanpa menghiraukan budaya Balim, maka sama dengan menarburkan benih di semak berduri. Siapa saja yang bertugas di Balim tidak mungkin mengabaikan budaya masyarakat. Menurutnya kebudayaan adalah kekayaan spiritual. Katolik bertitik tolak dari pandangan bahwa sebelum Injil masuk sudah ada bekas kaki Allah. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Yesus bahwa Ia tidak datang untuk meniadakan nilai budaya melainkan untuk menyempurnakannya.

Ada pengalaman indah yang dikisahkan. Waktu ekspedesi Lorenzt, dengan ratusan orang jalan kaki dari Asmat menuju ke Pegunungangan. Mereka khawatir kalau bertemu dengan orang-orang jahat. Mereka membawa pasukan untuk mengawal perjalanan ini. Setelah mereka tiba dan berhadapan dengan orang pegungugnan. Mereka telanjang, hitam, dan militerpun siaga. Justru apa yang terjadi orang gunung datang dan jabat tangan. Anggota ekspedisi heran karena disalami. Orang primitif justru tidak berhati jahat. Dihidangkan juga daging babi. Kepala ekspedisi diminta untuk membagi, tapi dia cicipi dulu. Akhirnya, ditegur karena harus membagi kepada teman serombongan. Setelah tinggal beberapa lama bersama masyarakat setempat, mereka menemukan bahwa orang pegunungan punya teknologi pertanian. Mereka lebih heran lagi. Karl Muhler juga menuturkan bahwa dulu orang Papua boleh merasa berbangga, karena sudah ada pertanian di sana. Ada rasa kagum yang mendalam. Rasa kagum itu, terus dipupuk. Dunia luar banyak belajar dari pegunungan ini. Rugi kalau hilang Program gereja dan pemerintah, kurang memperhitungkan kearifan budaya lokal ini.

Ada kesenjangan yang nampak yaitu sekarang perhatian gereja keuskupan lebih difokuskan pada OMK, padahal  orang tua juga dirasa penting.  Karena seakan-akaan pohon yang dipotong dari akar. Ada konflik yang nampak antara gereja Katolik dan Jayawijaya. Tahun 1970 pemerintah menginstruksikan untuk melepaskan budaya dan dilepaskan oleh masyarakat. Gereja Katolik protes akan hal demikian, sehingga pemerintah provinsi juga melibatkan diri.
P.Frans Lieshout,OFM mengangkat contoh yang menonjol adalah tantangan poligami. Menurutnya setelah 50 tahun penginjilan poligami tidak berkurang berarti. 30% bapak keluarga  Balim poligami, ibu -ibu 50% hidup dalam poligami. Perintah Yesus untuk membaptis, kecuali yang 40% poigami. Sekarang ini 25%  yang sudah dibaptis poligami lagi. Berdasarkan aturan Gereja mereka tidak boleh dibaptis dan komuni lagi. Timbul pertanyaan apakah ada perintah Yesus yang melarang orang-orang yang poligami untuk tidak dibaptis?

Tahun-tahun terakhir, ada gejala yang sangat berpengaruh yatiu, sekarang tidak ada pastor awam lagi. Jadi pelayanan pastoral hanya dijalankan oleh seorang imam. Akibatnya ada 9 paroki di dekenat Jawawijaya, 6 paroki tidak mempunyai  pastor. Pelayanan juga hanya difokuskan pada sakramental, sekarang hampir separoh umat katolik yang belum dibaptis, tidak mendapat pelayanan lagi. Orang Muda Katolik  dirangkul dan orang tua dianaktirikan. Defakto inkulturasi: studi budaya dan bahasa hampir tidak  lagi dihidupi. Ini tidak terjadi lagi.

Pastor GONZA:
Kesan pertama pater frans sangat mengesankan. Bahasa sebagai jalan memahami pikiran masyarakat setempat. Waktu membaca buku ini saya merasa senang, karena bisa membaca dan bisa melihat. melihat teks....Kita tahu sejarah dan  selanjutnya  bisa membuat apa dengan Gereja ke depan. Ini membutuhkan kerja keras dan melahirkan banyak penderitaan karena tidak bisa  harus ditulis.

Kekuatan misioanaris mereka adalah pola pendekatan mereka. Pendekatan inkulturatif sangat menentukan pelayanan. Bahasa adalah tantangan dan tuntutan yang harus dipenuhi dan dikuasai. Pembaptisan baru dilakukan setelah 4-5 tahun. Mereka bina dulu baru baptis.
P.Frans Liesthout memberi judl buku tersebut: SEJARAH GEREJA KATOLIK DI LEMBAH BALIM- PAPUA: KEBUDAYAAN BALIM TANAH SUBUR BAGI BENIH INJIL.
Judul ini seakan memberi arti penting bagi kita supaya tetap menghargai dan menggali kebudayaan Balim itu bagi benih Injil. Ada banyak pedoman hidup baik dan jatih diri orang Balim yang perlu digali. Judul itu juga mengungkapkan kegelisahan ketika tenaga pastoral kurang menghayati inkulturasi sebagai kewajiban  dalam penginjilan. Tenaga-tenaga pastoral yang ada di Lembah Balim amat kurang (9 paroki hanya dilayani oleh 3 imam dan 1 suster).



 Lorens Resi Purek, OFM
 Biara Sang Surya
 Jln. Sosiri no 7 Abepura
 Jayapura- Papua
 Telp: 0967 581844

Lambang Pemuda-Pemudi Katolik Indonesia

Dekenat Jayawijaya

Di Dekenat Jayawijaya tu ada 9 (sembilan) paroki, yakni: Wamena, Pikhe, Yiwika, Pugima, Musatfak, Elagaima, Kimbim-Wogi, Hepuba, sama Welesi. Sampai tahun 2006 ini, paroki-paroki ne ada di bawah satu penggembalaan 1 imam projo Keuskupan Jayapura, dan 2 imam Fransiskan, Kustodi Duta Damai Papua, salah satu paroki dipimpin oleh seorang suster dari kongregasi FSGM. Ada sejumlah petugas gereja awam yang juga dipercayakan untuk memimpin paroki di bawah koordinator langsung oleh pater dekan. Disamping ini terdapat sejumlah pewarta kampung yang di kenal dengan sebutan wenewolok yang menjadi ujung tombak kehidupan menggereja di Jayawijaya.

Dekenat Jayawijaya tu dia meliputi daerah kabupaten Jayawijaya, Yahukimo, sama Tolikara, dengan topografi dataran rendah (lembah yang subur namun rawan bajir, lereng-lereng terjal dan pegunungan yang tinggi. Suhu udara maksimun tu 18-22°C. mayoritas umat tu dari komunitas lokal.
Paroki St. Stefanus, Kimbim Wo'ogi 100
Paroki St. Fransiskus Asisi, Musatfak 76
Paroki Kristus Gembala Kita, Pugima 70
Paroki St.Paulus, Welesi 91
Paroki Bunda Maria, Pikhe 77
Paroki Kristus Terang Dunia, Yiwika 93
Paroki Emanuel, Elagaima 82
Paroki Kristus Penebus Telnyapikhe, Hepuba 97
Paroki Kristus Jaya, Wamena

Minggu, 26 September 2010

Sejarah Singkat Masuknya Gereja Katolik

    Misionaris pertama yang datang ke Lembah Baliem adalah P. Blookdijk, OFM (Apemusi/berjenggot dan berkumis) pada tanggal 19  Januari 1958 dengan peswat Cesna. Pada saat itulah dijadikan sebagai awal mula karya misi gereja katolik berkarya di Lembah Baliem. Kedatangan misionaris katolik pertama melalui lapangan  terbang Wamena yang dibangun oleh pemerintah. Setelah pendaratan yang kedua tanggal 15 Februari 1958, misi katolik mulai bergerak dan mengembangkan sayapnya. P. Blokdijk yang dapa bantu sama Anton Amo dengan Dionisius L Maunda, segera mendapat anak-anak asli dari Wesaima sama Wesaput. Bulan Februari tu pater dia dapat tanah dengan ukuran 60x90 meter dia beli dengan dua (2) parang.  Kemudian dia bangun pastoran di Wesaima terus kumpul anak-anak untuk dia didik/ kasih sekolah. Waktu itu ada 6 anak yang bisa dikumpulkan antara lain tu Niko Hubi.
   Bulan Maret 1958 P. Blokdijk mulai kunjungan keluar dari orang-orang Mukoko, yakni ke wilayah Hubikiak sama Welesi. Sementara itu anak-anak sudah tambah banyak yang dikumpulkan sudah ada 12 anak, tapi tra lama kemudian dia pu jumlah tu berkurang jadi 7 orang saja, terus bulan April tambah lagi jadi 10 orang terus bulan Mei  menjadi 12 anak. Tanggal 26 April 1958 mulai pakai pastoran baru. Bulan Mei 1958, Gereja/kapela su selesai dorang bangun dengan bahan lokal di Wesaima. Kapela yang bisa tampung 40-50 orang itu mulai dipakai pertama kali pada hari pantekosta. Karena anak-anak tambah banyak maka P. Blokdijk berencana untuk buka pendidikan formal.
    Sampai akhir tahun 1959, misionaris Fransiskan tambah banyak. Pada awal bulan november 1959 SD katolik dibuka dengan jumlah murid sekitar 30 orang. Tanggal 19 januari 1960 dua (2) suster Fransiskanes dari Belanda tiba di wesaima. Kedua suster tersebut adalah Sr. Casmira Dsy dan Sr. Odulfa Dsy. Mereka mendirikan rumah sederhana sebagai susteran disamping pastoran di wesaima, tahun 1960 gereja Katolik mulai buka stasi secara permanen di sebelah timur kantor polisi yang sekarang dorang pake sebagai kantor Lurah Kota. Disitu gereja dibangun oleh Br. Ambrosius Dorkas,  OFM. Lonceng gerejanya diberkati tanggal 22 November 1960.  Setelah itu tra lama kemudian gereja pindah ke sebelah selatan di dekat Kali Uwe, yakni di Patikuluba, yang sekarang dorang kenal dengan kompleks Misi Katolik Wamena.

Keadaan Geografis, Budaya, Sosial Masyarakat    Wilayah Paroki “Kristus Jaya” Wamena terletak di jantung kota Wamena. Yang adalah pusat kota di Kabupaten Jayawijaya. Wilayah paroki ini berbatasan dengan Paroki Pugima, Paroki Hepuba, Paroki Pikhe sama Paroki Welesi. Dia pu keadaan alam cukup indah, dingin, curah hujan cukup tinggi, dan dengan ketinggian 5.000 kaki diatas permukaan laut. Paroki Kristus Jaya Wamena sebagaian umatnya tu masuk wilayah Distrik Wamena Kota dan dua kring masuk wilayah Distrik Asolokobal Kabupaten Jayawija. Jumlah penduduk di Distrik Wamena kota ini berdasarkan data pemerintah ada 40.370 jiwa. Yang terdiri dari agama kristen (27,175 jiwa), Katolik (8.685 jiwa), Islam (4.467 jiwa), Hindu (33 jiwa), dan Budha (10 jiwa).
    Umat katolik Kristus Jaya Wamena adalah umat yang heterogin, (yang terdiri dari berbagai suku sama latar belakang budaya, pendidikan, serta sosial), hampir semua suku di Indonesia ini ada, terutama yang berdomisili di  dalam kring dalam kota. Sedangkan yang berdomisili di kring luar kota adalah umat dorang yang homogen (asli Balim). Mata pencaharian mereka bagi yang berdomisili di kring luar kota pada umumnya adalah petani sama peternak. Sedangkan yang  berdomisisli di dalam kota adalah pegawai.
    Suasana politik di Wilayah Paroki Kristus Jaya ini tra menentu sekali, karena berada di jantung pusat pemerintahan Kabupaten Jayawijaya. Persaingan yang kadang  kala tra sehat, egoisme, ketidakadilan, ketidakterbukaan pemerintah dorang, seringkali bikin konflik bisa terjadi.
    Segi kesehatan sangat rawan sekali. Dimana-mana ada sampah. Kota yang dulu terkenal dengan keindahannya tu sekarang berubah menjadi kota sampah. Untunglah ada kunjungan Presiden RI, sehingga sampah-sampah itu dorang bisa bersihkan. Belum lama ini ada wabah kolera, yang akhirnya memakan banyak korban. Teruama bagi masyarakat yang bermukim di pinggiran kota. Pelayanan kesehatan di daerah ini sangat terbatas sekali. Memang ada sejumlah Puskesmas dan Postu dan bahkan ada Rumah Sakitnya, tetapi pelayanannya kurang optimal sekali. Selain itu berdasarkan data yang diperoleh, sudah terdapat sejumlah orang yang mengindap HIV/AIDS.
    Di kota Wamena ini banyak sarana pendidikan, dari TK, SD, SLTP, SLTA maupun Perguruan Tinggi. Ada yang berstatus Inpres/Negeri dan juga ada yang swasta. Adapun kwalitasnya, ada beberapa yang cukup bagus/bermutu, tetapi pada umumnya cukup memprihatinkan.

DATA AKTUAL PAROKI
  • Keadaan Umat
    Paroki  “Kristus Jaya” Wamena terdiri dari 18 kring, yaitu 7 kring dalam kota dan 11 kring di luar kota. Tahun berdiri Mei 1958. jumlah umat pada saat ini tu ada 7.259 jiwa (5.718 orang sudah dibabtis dan 1.541 orang belum dibabtis). Umatnya Heterogen, yang terdiri dari berbagai suku, budaya mata pencaharaian, tingkat pendidikan dan strata sosial lainnya.
    Di dalam menunjang pengembangan iman/kehidupan menggereja umat di Paroki Kristus Jaya Wamena ada beberapa kelompok kategorial, yaitu: kelompok doa Rosario, yang anggotanya mayoritas terdiri dari suku Flores, Kelompok doa Tanimbar yang anggotanya dari suku Tanimbar, kelompok bina iman Toraja, anggotany dari suku Toraja, dan kelompok doa Karismatik , kelompok terakhir ini anggotanya masih sedikit dan terdiri dari berbagai suku.
    Selain kelompok-kelompok itu, ada juga kelompok Mudika, WKRI, Misdinar, sama sekolah minggu. Kring IV adalah kelompok kategorial karena anggotanya seluruhnya adalah umat asli suku Balim  dan tinggal tersebar di seluruh wilayah paroki Mengapa kelompok ini dijadikan kring? Menurut beberapa informasi tu bahwa tujuannya antara lain tu supaya dapat mempertahankan budaya Balim yang ada di kring-kring kota.
  • Unit Pelayanan
     Kesehatan: tergabung dalam pelayanan kesehatan dekenat, Pendidikan:  Sekolah tu terdiri dari 1 buah TK (2006), 5 SD, 1 SMP,  1 SMA di bawah naungan YPPK. Asrama tu terdiri dari asrama 2 buah (ditangani oleh para suster FSGM sama JMJ) dan asrama putra 2 buah. Kelompok-kelompok gereja  2 komunitas suster (FSGM & JMJ). Pelayan dan Struktur: Paroki Kristus Jaya Wamena ditangani oleh sejumlah anggota Badan Musyawarah  Paroki (BMP). Selain pengurus BMP dibantu juga oleh sejumlah wenewolog dan tenaga sukarela lulusan STFT, IPI, APK, STKAT, terutama dalam pendampingan pembinaan iman di kring dan kelompok kategorial. Selain itu juga ada dibantu juga oleh sejumlah akolit dan para suster. Jumlah pelayan: Pastor  paroki seorang imam projo, BMP inti: 6 orang, anggota BMP: 17 orang, Guru Agama: 22 orang, ketua kring: 18 orang, Biarawati: 6 orang 9 3 suster JMJ dan 3 suster FSGM), wenewolok: 18 orang, Akolit: 13 orang). Fasilitas Pendukung: Gedung gereja pusat paroki 1 buah, kapela kring 12 buah, Soskat 1 buah, Pastoran 1 buah, rumah petugas gereja 2 buah, susteran 2 buah, dan asrama 4 buah. Program utama dalam kegiatan gereja: Liturgi, katekese, pendalaman iman dan kitab suci, kunjungan, dan pembinaan-pembinaan.

PELUANG DAN HAMBATAN    Hambatan yang ada tu antara lain keadaan ekonomi dan politik yang tra menentu sangat berpengaruh terhadap menurunnya hidup menggereja umat dalam membuat umat kurang bersatu serta saling curiga satu dengan yang lain, kurang ada persatuan di kalangan umat dorang, terutama di antara para tokoh intelektual, kesadaran hidup menggereja umat menurun, sehingga menimbulkan kesulitan untuk mencari kader gereja, termasuk pewarta muda.
    Peluang yang ada menghimpun para tokoh intelektual untuk bersatu, melibatkan para tokoh intelektual di dalam membangun umat, membina/mempersiapkan para kader sejak dini, mengoptimalkan tenaga yang ada untuk meningkatkan pelayanan.